Poin-Poin Perbedaan Perppu No. 2/2022 Tentang Cipta Kerja Dengan Undang-Undang Cipta Kerja Terkait Ketenagakerjaan

 

Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau yang umum disebut sebagai Perppu telah diatur melalui Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Disebutkan bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Dalam hal ini, telah dijelaskan lebih lanjut bahwa Pasal ini mengenai noodverordenings recht Presiden (hak Presiden untuk mengatur dalam kegentingan yang memaksa). Aturan berikut ini memang perlu diadakan agar supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, sehingga dapat memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat.

Ihwal kegentingan yang memaksa menjadi suatu dasar bagi Presiden dalam membentuk dan menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, dalam hal ini tidak ada penjelasan yang konkrit berdasarkan hukum mengenai ihwal kegentingan yang memaksa, sehingga hal tersebut akan dikembalikan kepada Presiden dalam memutuskan apakah kondisi saat ini merupakan ihwal kegentingan yang memaksa sehingga perlu ditetapkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

Baru-baru ini masyarakat dikejutkan oleh penetapanPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu No.2/2022). Sebagai tanggapan atas pertanyaan masyarakat mengenai pembentukan Perppu tersebut, pemerintah pusat memberikan berbagai keterangan. Mengutip dari keterangan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto melalui kompas.com, Perppu ini diterbitkan karena dinilai  merupakan suatu kebutuhan yang mendesak, jadi tentu Perppu ini mengganti Undang-undang Cipta Kerja.[1] Sementara menurut Wakil Presiden Ma'ruf Amin, dalam rangka memperbaiki situasi, tidak boleh vakum, supaya perekonomian kita terjaga, investor juga tidak bingung, jalan keluarnya dibuat Perppu untuk menanggulangi situasi itu, masalah Perppu itu saya kira kan memang Undang-undang Cipta Kerja itu kan dianggap ada bermasalah, sehingga perlu diperbaiki.[2]

Pemerintah pusat menerangkan bahwa terdapat ihwal kegentingan yang memaksa sehingga pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi penting untuk dapat ditetapkan. Dalam pembentukan Undang-Undang yang mengatur hajat hidup banyak orang, tentu akan ada pro dan kontra terhadap peraturan tersebut. Dalam hal ini, berbagai elemen masyarakat menyampaikan alasannya untuk kontra terhadap Perppu No.2/2022, baik terhadap suatu hal yang bersifat formil maupun bersifat materil.

Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Allan Fatchan Gani Wardhana, S.H., M.H. memberikan pandangannya terkait Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau Perppu Cipta Kerja. Menurutnya, Pemerintah juga melecehkan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku lembaga pembentuk Undang-Undang, karena dengan dikeluarkannya Perppu ini, pemerintah meminggirkan peran DPR, Perppu Cipta Kerja masih berlaku sampai dilakukan perbaikan hingga November 2023. Waktu 10 bulan sangat cukup untuk melakukan revisi, bukan malah mengeluarkan Perppu UU Cipta Kerja, sementara dikeluarkannya Perppu Cipta Kerja ini berdampak buruk bagi hubungan antar lembaga negara yaitu antara Presiden, DPR, dan Mahkamah Konstitusi (MK). Presiden tidak menghormati putusan MK sekaligus tidak menghormati DPR selaku lembaga pembentuk Undang-Undang.[3]

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menyampaikan, Aturan ini semakin tidak jelas, putusan MK dilawan dan ada upaya memaksakan agar Undang-Undang Ciptaker tidak diganggu. Alih daya tetap dibolehkan untuk seluruh pekerjaan. Kalau di UU No.13/2003 alih daya hanya untuk pekerjaan penunjang. Sikap kami menolak atau tidak setuju dengan isi Perppu Cipta Kerja, setelah mempelajari menelaah mengkaji salinan Perppu No.2/2022 yang beredar di media sosial. Ada 9 poin yang kami sandingkan dengan UU Cipta Kerja sebelumnya dan UU No. 13/2003.[4]

Sementara telah disahkan Perppu No.2/2022, maka perlu untuk dibahas terkait dengan perbedaan materi muatan antara Perppu No.2/2022 dengan Undang-Undang Cipta Kerja yang diputus inkonstitusional bersyarat oleh MK. Terdapat beberapa poin yang perlu diketahui oleh masyarakat publik terkait dengan perubahan yang terjadi dalam Perppu No.2/2022 yang sebelumnya diatur melalui UU Cipta Kerja. Perubahan yang terjadi tidak merubah UU Cipta Kerja secara signifikan, banyak peraturan yang tidak diubah, diantaranya terkait dengan perindustrian, perseroan terbatas, dan penanaman modal. Perppu yang merubah ketentuan 75 Undang-Undang tersebut mengalami perubahan dalam beberapa pengaturan, salah satu diantaranya yang menjadi perhatian masyarakat luas adalah mengenai ketenagakerjaan.

Perppu No.2/2022 mengatur mengenai pembatasan pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis melalui perubahan pasal 64 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Sebelumnya pengaturan tersebut dihapuskan melalui UU Cipta Kerja, sehingga tidak ada pembatasan terkait dengan pelaksanaan pekerjaan yang dapat disalurkan melalui perusahaan alih daya atau outsourcing. Namun, tetap memiliki perbedaan antara pengaturan yang dimuat oleh Perppu No.2/2022 dengan Undang-Undang No. 13 tahun 2003, yang mana sebagian pelaksanaan pekerjaan tersebut akan diatur melalui peraturan pemerintah. Perusahaan alih daya atau outsourcing menjadi perhatian penting dalam masyarakat, dalam hal ini pemerintah diharapkan mempertimbangkan pendapat berbagai elemen masyarakat dalam pembentukan peraturan pemerintah mengenai sebagian pelaksanaan pekerjaan yang dapat disalurkan melalui perusahaan alih daya atau outsourcing.

Terdapat perubahan mengenai peraturan upah minimum yang diatur melalui pasal 88 C  Undang-Undang No. 13 tahun 2003 yang diubah dengan Perppu No.2/2022. Disebutkan bahwa, penetapan upah minimum kabupaten/kota dilakukan dalam hal hasil penghitungan upah minimum kabupaten/kota lebih tinggi dari upah minimum provinsi. Sehingga, apabila penghitungan upah minimum kabupaten/kota lebih rendah dari upah minimum provinsi, maka yang digunakan sebagai acuan upah minimum merupakan upah minimum provinsi. Pengaturan tersebut berbeda dengan muatan pasal 88 C Undang-Undang No. 13 tahun 2003 yang diubah dengan UU Cipta Kerja, yang mana menyebutkan bahwa Upah minimum kabupaten/kota harus lebih tinggi dari upah minimum provinsi.

Terdapat pertambahan pasal dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 yang diubah dengan Perppu No.2/2022 apabila dibandingkan dengan muatan UU Cipta Kerja, yaitu pasal 88 F. Disebutkan bahwa, dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan upah minimum. Perlu adanya peraturan lanjutan mengenai maksud dari keadaan tertentu yang termuat dalam pasal tersebut, sehingga tidak bersifat kabur atau multitafsir karena dapat merugikan banyak pihak.

Perppu No.2/2022 tidak merubah banyak muatan UU Cipta Kerja sehingga tidak cukup banyak poin-poin yang dapat dibahas, sementara cukup banyak pro dan kontra terkait dengan penetapan Perppu tersebut. Perlu adanya peluang bagi masyarakat publik untuk dapat memberikan masukan dan evaluasi terhadap muatan-muatan peraturan cipta kerja. Sehingga pembentukan regulasi tersebut dapat mempertimbangkan kebutuhan masyarakat akan peraturan cipta kerja.


Dasar Hukum:

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja


[4] https://ekonomi.bisnis.com/read/20230101/12/1613918/buruh-tolak-isi-perppu-cipta-kerja-apa-saja (diakses pada 22 Januari 2023)

Komentar