Hak atas tanah di Indonesia sebelumnya diatur melalui KUH-Perdata (Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata), setidaknya terdapat 4 jenis hak atas tanah yang
telah diatur, yaitu Hak Eigendom, Hak Erpacht, Hak Opstal, dan Hak
Gebruik. Namun, karena kebutuhan masyarakat, maka dibutuhkan pengaturan
mengenai hak atas tanah yang lebih lengkap dan sesuai dengan kondisi bangsa.
Untuk itu Negara mengatur mengenai agraria nasional melalui Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Berdasarkan UUPA, agraria diartikan sebagai seluruh
bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah
bumi, air, dan ruang angkasa Bangsa Indonesia merupakan kekayaan nasional.
Sehingga yang dimaksudkan sebagai agraria adalah seluruh sumber daya alam yang
terkandung baik di dalam maupun di atas permukaan tanah.
Sebelum membahas terkait dengan kepemilikan hak atas tanah, maka perlu
untuk dibahas terlebih dahulu terkait dengan subjek yang dapat memiliki hak
atas tanah di Indonesia. Berdasarkan muatan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar
1945 yang berbunyi bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,
sehingga dapat disimpulkan bahwa subjek yang menguasai agraria adalah Negara
untuk kemudian dipergunakan demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Hak menguasai dari Negara yang dimaksud memberi wewenang untuk:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa,
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa.
Pada akhirnya Negara berwenang untuk memberikan hak kepada Rakyat
Indonesia serta Subjek Hukum Indonesia untuk mendapatkan hak atas tanah di
Indonesia. Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, untuk tidak merugikan
kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak
diperkenankan. Berdasarkan uraian tersebut diatas, hak atas tanah
diartikan sebagai hak untuk menggunakan tanah demi kepentingan masyarakat serta
tidak semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu
menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan
keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan
dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan Negara.
Kemudian berdasarkan Pasal 7 UUPA, dapat
dikatakan bahwa terdapat batasan ukuran atas agraria yang dapat dimiliki
melalui hak atas tanah oleh suatu subjek, agar kemudian hak atas tanah tidak
dikuasai oleh satu subjek tertentu saja.
Telah diuraikan sebelumnya bahwa Negara memiliki kewenangan untuk
memberikan hak atas tanah terhadap Subjek Hukum Indonesia, maka perlu untuk
dijabarkan terkait dengan Subjek Hukum Indonesia tersebut, berikut merupakan
penjabarannya berdasarkan UUPA:
a. atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai
yang dimaksud, ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang
disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.
b.
hanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai
hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas
ketentuan yang telah diatur UUPA.
Sehingga berdasarkan penjelasan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa Subjek Hukum yang berhak mendapatkan hak atas tanah adalah Warga Negara Indonesia
serta badan hukum yang terdaftar di Indonesia melalui Kementerian Hukum dan HAM.
Sementara, Warga Negara Asing tidak dapat memiliki hak atas tanah di Indonesia
secara perseorangan, namun Warga Negara Asing dapat menggunakan tanah di
Indonesia melalui prosederual dan keberhakan tertentu sebagaimana diatur dalam
UUPA.
Berikut merupakan penjelasan atas hak atas tanah sebagaimana yang diatur
melalui UUPA:
Hak-hak penguasaan atas tanah yang dikenal dalam UUPA, dapat disusun
dalam jenjang tata susunan atau hirarkhi sebagai berikut :
1.
Hak Bangsa Indonesia (Pasal 1).
2.
Hak Menguasai dari Negara (Pasal 20).
3.
Hak Ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat,
sepanjang menurut kenyataannya masih ada (Pasal 3).
4.
Hak-Hak Perorangan:
a.
Hak-hak atas tanah (pasal 4):
i. Primer
: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, yang diberikan oleh Negara, Hak
Pakai, yang diberikan oleh Negara dan Hak Pengelolaan (Pasal 16).
ii. Sekunder:
Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, yang diberikan oleh pemilik tanah, Hak Gadai,
Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, Hak Sewa dan lain-lainnya (Pasal 37, 41, dan 53).
b.
Wakaf (pasal 49)
c. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (Undang-undang
No 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun)
d.
Hak Jaminan Atas Tanah:
i. Hak
Tanggungan (pasal 23, 33, 39 dan 51)
ii. Fidusia
(Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985).
A.
Hak Milik (Pasal 20 – Pasal 27 UUPA)
Sebelumnya KUH-Perdata mengatur mengenai Hak Milik dengan sebutan Hak Eigendom yang diatur dalam pasal 570 KUH-Perdata, yang berbunyi “Hak milik
adalah hak untuk menikmati suatu barang secara lebih leluasa dan untuk berbuat
terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan dengan Undang-Undang atau Peraturan Umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan
asal tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu tidak mengurangi
kemungkinan pencabutan hak demi kepentingan umum dan penggantian kerugian yang
pantas, berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan.”
Hak Milik adalah hak turun-menurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah, Hak Milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak
lain. Hanya Warga Negara Indonesia yang tidak memiliki kewarganegaraan ganda
dapat mempunyai Hak Milik, oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang
dapat mempunyai Hak Milik dan syarat-syaratnya. Sehingga, Hak Milik adalah hak
atas tanah terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki oleh masyarakat. Hak Milik
tersebut dapat dilakukan jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan
wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan
untuk memindahkan Hak Milik, sehingga Hak Milik dapat dialihkan.
Hapusnya Hak Milik dapat terjadi oleh karena karena pencabutan hak, karena
penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya, karena diterlantarkan, karena
dimiliki oleh Warga Negara Asing selama lebih dari 1 tahun, serta apabila tanahnya
musnah.
B.
Hak Guna Usaha (Pasal 28 – Pasal 34 UUPA)
Sebelumnya KUH-Perdata mengatur mengenai Hak Guna Usaha dengan sebutan Hak
Erpacht yang diatur dalam Pasal 720 dan 721 KUH-Perdata, yang berbunyi “Hak
Guna Usaha adalah hak kebendaan untuk menikmati sepenuhnya barang tak bergerak
milik orang lain, dengan kewajiban membayar upeti tahunan kepada pemilik tanah,
sebagai pengakuan tentang pemilikannya, baik berupa uang maupun berupa hasil
atau pendapatan. Alas hak lahirnya Hak Guna Usaha harus diumumkan dengan cara
seperti yang ditentukan. Namun, terdapat perbedaan mendasar antara Hak Erpacht
dengan Hak Guna Usaha, yaitu Hak Guna Usaha merupakan Hak Kebendaan untuk
memanfaatkan secara ekonomi tanah milik negara.
Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung
oleh Negara, dalam jangka waktu paling lama 35 tahun serta dapat diperpanjang
sebanyak 25 tahun, guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan.
Sehingga Hak Guna Usaha merupakan hak untuk memanfaatkan tanah milik negara
untuk kegiatan komersial sebagaimana yang telah diatur, pemegang Hak Guna Usaha
dapat mengalihkan kepemilikan hak tersebut dengan ketentuan tertentu yang
diatur Undang-Undang.
Hak Guna Usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap
peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan
perundang-undangan, sehingga terdapat syarat tertentu dalam pemanfaatan tanah
untuk kegiatan ekonomi. Apabila syarat-syarat tidak terpenuhi, maka Hak Guna Usaha dapat dicabut oleh Negara. Hak Guna Usaha juga dapat dicabut demi
kepentingan umum, dalam hal ini kepentingan umum diartikan sebagai pemakaian
dan pengusahaan tanah yang dilakukan secara yang tidak baik, karena akan
menciderai kepentingan umum. Serta kepentingan umum dapat diartikan sebagai
kepentingan Negara untuk memanfaatkan tanah tersebut untuk pembangunan dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
C.
Hak Guna Bangunan (Pasal 35 – Pasal 40 UUPA)
Sebelumnya KUH-Perdata mengatur mengenai Hak Guna Bangunan dengan sebutan
Hak Opstal yang diatur dalam Pasal 711 KUH-Perdata, yang berbunyi “Hak numpang
karang adalah hak kebendaan untuk mempunyai gedung bangunan atau tanaman diatas
(hak milik) orang lain.” Dalam hal ini, Hak Opstal merupakan hak yang dimiliki
seseorang untuk dapat menggunakan ruang di atas permukanan tanah milik orang
lain dalam waktu tertentu sebagaimana yang ditetapkan.
Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan
atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30
tahun. Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta
keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut diatas dapat diperpanjang
dengan waktu paling lama 20 tahun. Hak Guna Bangunan dapat beralih dan
dialihkan kepada pihak lain.
Hak Guna Bangunan dapat diperoleh atas Tanah Milik Negara serta tanah
dengan Hak Milik, dengan memperhatikan syarat yang telah ditentukan oleh
undang-undang. Hak Guna Bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian
juga setiap peralihan dan hapusnya hak tersebut harus didaftarkan.
D.
Hak Pakai (Pasal 41 – Pasal 43 UUPA)
Sebelumnya KUH-Perdata mengatur mengenai Hak Pakai dengan sebutan Hak Gebruik
yang diatur dalam Pasal 818 KUH-Perdata, yang berbunyi “Hak Pakai dan hak
mendiami, diperoleh dan berakhir dengan cara yang sama seperti hak pakai
hasil.”
Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/ atau memungut hasil dari
tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang
memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya
oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik
tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah,
segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan
UUPA. Hak Pakai dapat diberikan selama jangka waktu yang tertentu
atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu serta dengan
cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun. Pemberian Hak Pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.
Berbeda dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, serta Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dapat diberikan kepada orang asing serta badan hukum asing yang memiliki
perwakilan di Indonesia.
Dasar Hukum:
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Indonesia
Undang-Undang
Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Komentar
Posting Komentar