Melalui Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UU PT) diatur kewajiban bagi
Direksi untuk menjalankan pengurusan perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan
perseroan, sehingga Direksi harus menjalankan pengurusan perseroan dengan
memperhatikan perkembangan, keberlanjutan perseroan, pertanggungjawaban, dan
kewajiban-kewajiban perseroan lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.[1]
Pelaku usaha harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya untuk kepentingan
perseroan, khususnya Direksi perseroan yang memiliki kewenangan dalam
menjalankan pengurusan perseroan. Namun, dalam praktiknya masih banyak tindakan
menjalankan kepengurusan perseroan dengan tidak memperhatikan asas
kehati-hatian, tata kelola perusahaan yang baik, serta menghindari adanya
benturan kepentingan, sehingga berakhir dengan merugikan perseroan dan
berdampak pula kepada stake holders perseroan, antara lain pemegang saham,
kreditur, serta pihak-pihak terkait lainnya.
Fiduciary dalam bahasa
Latin dikenal sebagai fiduciarius yang bermakna kepercayaan. Secara
teknis istilah fiduciary dimaknai sebagai seseorang yang memegang
sesuatu dalam kepercayaan untuk kepentingan orang lain. Sesorang memiliki tugas
fiduciary (fiduciary duty) ketika ia memiliki kapasitas fiduciary
(fiduciary capacity). Seseorang dikatakan memiliki kapasitas fiduciary
jika bisnis yang dikuasainya bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi
untuk kepentingan pihak lain. Fiduciary Duties terjadi ketika satu pihak
berbuat sesuatu bagi kepentingan pihak lain dengan mengesampingkan kepentingan
pribadinya sendiri, tetapi untuk kepentingan pihak lain. Dalam Perseroan
Terbatas, yang mengemban Fiduciary Duties, adalah Pengurus Perseroan
yang memiliki fungsi sebagai pelaksana dan pengawas dalam kegiatan Perseroan. [2]
Berdasarkan UU PT,
prinsip Fiduciary Duty adalah suatu kondisi dimana Direksi menjalankan
pengurusan perseroan berdasarkan asas kehati-hatian dan tata kelola perusahaan
yang baik.[3]
Prinsip Fiduciary Duty merupakan suatu pedoman yang harus dilaksanakan
oleh Direksi perseroan dalam menjalankan fungsinya sebagai Pengurus Perseroan
yang memiliki kewenangan dalam menjalankan kegiatan dan aktivitas perseroan.
Sehingga, Direksi merupakan organ perseroan penting yang menggerakan perseroan
berdasarkan maksud, tujuan, dan kepentingannya. Direksi wajib melakukan
tindakan-tindakan yang selaras dengan maksud, tujuan, dan kepentingan perseroan,
serta menghindari adanya benturan kepentingan. Duty to act bona fide in the
interest of the company atau dalam melakukan tindakan pengurusan perseroan
sebagaimana fungsinya, Direksi harus melakukannya semata-mata hanya untuk
kepentingan perseroan.
Pelanggaran prinsip Fiduciary Duty oleh Direksi adalah pelanggaran yang terjadi ketika Direksi tidak melakukan tindakan pengurusan perseroan semata-mata hanya untuk kepentingan perseroan, sehingga terdapat benturan kepentingan dalam pelaksanaan kepengurusannya dan berakhir menyebabkan kerugian kepada perseroan.
Apabila kemudian
Direksi melakukan pelanggaran prinsip Fiduciary Duty, maka Direksi
memiliki kewajiban untuk mempertanggungjawabkan tindakannya secara pribadi.[4]
Pertanggungjawaban secara pribadi oleh Direksi adalah tindakan untuk memulihkan
kerugian yang terjadi karena tindakannya dengan menggunakan harta kekayaan
pribadi Direksi. Kewajiban bagi Direksi untuk mempertanggungjawabkan
tindakannya dapat dilaksanakan bilamana telah terbukti secara jelas dan nyata
bahwa tindakan yang dilakukan oleh Direksi bertentangan dengan prinsip Fiduciary
Duty atau bertentangan dengan asas itikad baik, tata kelola perusahaan yang
baik, serta kepentingan perseroan.
Sumber Penulisan:
Undang-Undang No. 40 Tahun
2007 Tentang Perseroan Terbatas.
[2] Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern
dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal.33.
[3] Pasal 97 ayat (2) Undang-Undang No. 40 Tahun
2007 Tentang Perseroan Terbatas.
[4] Pasal 97 ayat (3) Undang-Undang No. 40 Tahun
2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Komentar
Posting Komentar